Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah kalimat pendek lebih baik dari kalimat panjang dalam penulisan prosa dalam sastra? Artikel ini mencoba membuat dua perbandingannya.

Dalam sebuah pengantar The Art of Short Story yang tidak diterbitkan di tahun 1959, namun diterbitkan kemudian secara anumerta, Ernest Hemingway menulis:

"Jika seorang penulis prosa cukup tahu tentang apa yang dia tulis, dia mungkin menghilangkan hal-hal yang dia ketahui dan pembaca, jika penulis menulis dengan cukup benar, akan memiliki perasaan tentang hal-hal itu seolah-olah penulis telah menyatakannya."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maksud Hemingway adalah seorang penulis tidak harus menyampaikan atau menulis seluruh ekpresinya, atau maksud yang ingin dia sampaikan.

Penulis cukup menuliskan apa yang perlu, tanpa keterangan dan tidak ada penjelas dalam kalimat. Meskipun demikian, pembaca akan memahami dan menemukan makna lain yang tak tertulis. 

Namun, tentu saja semua dilakukan dalam posisi yang jelas, di mana penghilangan detail dilakukan atas desain atau pengetahuan yang jelas dari penulis dan pembaca, sehingga pembaca mendapatkan asumsinya. Itu yang dimaksud sebagai subteks.

Ketika penulis menuliskan sebuah dialog dengan kalimat, “saya sudah makan”, misalnya, bukan berarti sebuah eksposisi yang memberikan wawasan bahwa karakter benar-benar bermaksud menjawab dengan apa yang dikatakannya.

Tetapi, 'saya sudah makan; bisa bermakna dia tengah marah. Makna marah ini terkonfirmasi pada tindakan sebelumnya. 

Subteks adalah semacam gunung es. Di permukaan kita hanya sedikit melihat apa yang tampak (yang diceritakan), tetapi di bawahnya terhampar apa yang tak terceritakan, dan kita memahami itu. Itulah mengapa, prinsip penulisan itu disebut sebagai 'The Principle of Iceberg' atau Ommision of Theory (teori penghilangan).

Seorang penulis tak perlu menuliskan semua ceritanya. Namun, seluruhnya harus merujuk pada hal-hal yang diketahui oleh penulis dan pembaca, sebagai subteks. Prinsip ini kemudian juga membawa ciri-ciri, seperti kalimat pendek yang kemudian dianggap sebagai standar nilai dari sebuah tulisan prosa.

Sebagian orang (dalam sastra) yang berpersepsi bahwa kalimat pendek adalah lebih baik sesungguhnya berasal dari teori Ernest Hemingway tersebut. Lalu bagimana hubungannya dengan persepsi bahwa sebuah penulisan disebut bagus bila ditulis dengan kalimat pendek? 

Baik dan Buruk

Anggapan itu tentu bisa benar, tetapi bukan kebenaran yang mutlak. Tentu, benar pada posisi tertentu, dan bukan berarti kalimat panjang tidak baik atau salah. Benar, karena argumen itu mendasar dan bisa dirasakan. Salah, karena dalam seni menulis sastra, kalimat baik pendek atau panjang memiliki fungsinya sendiri yang bisa digunakan.

Dalam seni menulis fiksi, tujuannya adalah membangun realitas rasa di dalamnya, atau membangun suasana atau perasaan teks. Dengan demikian fiksi bisa dinikmati sebagai ilusi fiksi.

Kalimat baik pendek atau panjang memiliki nuansa emosinya. Kalimat pendek, misalnya, membawa nuansa ringan dan bsa juga tegang, sedangkan kalimat panjang membawa nuansa ketegangan dan eksposisi penjelas. Sebuah novel yang ditulis dalam kalimat pendek dan terpotong yang menggunakan kata-kata kecil, dan sederhana mungkin terasa kasar, dingin, atau bahkan tidak penting.

Dalam karya-karya sastra seperti milik James Joyce, William Faulkner, Gabriel Gracia Marquez, misalnya, seluruh kalimatnya ditulis dengan panjang dan indah. Jadi, tidak mungkin kita menyebutnya sebagai tulisan yang buruk karena mereka menulis dengan kalimat panjang.

Mungkin saja kalimat pendek membuat pembaca mudah memahami, tetapi itu bukan tujuan utama dalam sastra. Dalam teknik sastra yang disebut stream of consciousness, misalnya, narasi, biasanya ditulis dengan kalimat panjang.

Dalam teknik ini kita bisa membaca karya Virginia Woolf, seperti Kew Gardens, karya James Joyce Ullyses, karya Willian Faulkner The Sound and Fury, dan lain-lain. Karya-karya mereka dianggap capain tertinggi di dalam estetika sastra modern.

Jadi, pada dasarnya, prinsip itu (teori gunung es) tak memiliki hubungan dalam persepsi baik buruk tulisan yang diukur dari panjang pendek kalimat.  Pertama, teori itu meskipun menyarankan penulisan kalimat yang ringkas, tetapi secara prinsip tidak berhungan dengan klaim bahwa kalimat pendek lebih baik dibanding kalimat panjang.

Hemingway adalah seorang sastrawan atau seniman kata. Dia juga sekaligus adalah mantan wartawan yang terbiasa menulis cepat dan pendek. Kedua latar itu membawanya pada kesimpulam teorinya. Secara prinsip penulisan berita adalah keringkasan dan bersifat aktif, sedangkan sastra adalah seni yang memadukan seluruh elemen yang ada.

'Prinsip Gunung Es' pada dasarnya adalah teori menulis. Artinya apa yang ditemukan Hemingway ini adalah mazab yang bisa diikuti atau tidak. Maka, kesalahan dalam memahami prinsip ini secara mendasar tentu akan membingungkan dalam memberikan penilaian. Mungkin saja seroang editor atau juri yang mengimani ini akan menilai dari posisi ini. "Ah, ini buruk karena kalimatnya panjang.'

Tentu saja ini adalah penilaian naif. Secara prinsip, menulis sastra, baik fiksi atau puisi, apa yang dibutuhkan adalah keseimbangan komposisi bentuk. Baik itu menggunakan kalimat pendek atau Panjang. Selain bahwa seorang penulis secara bebas bisa memilih jalan mazabnya. 

Dalam aliran sastra, misalnya, di Amerika Serikat, pada tahun 1970-an lahir apa yang disebut oleh Bill Buford dari Majalah Granta sebagai 'Dirty Realism' adalah salah satu contoh aliran yang menggunakan prinsip ini secara penuh. What We Talk About When We Talk About Love (1981) oleh Raymond Carver adalah contoh dari aliran ini ditulis, selain ada Tobias Wolff.

Dalam karya-karya mereka, kita jarang menemukan kalimat pasif, kalimat majemuk, dan struktur kalimatnya pendek-pendek, serta sarat dengan subteks. Dan seperti yang dijelaskan oleh Bill Bufford, aliran ini secara teknis mengadopsi prinsip-prinsip gunung es milik Ernest Hemingway.

Tulisan dengan kalimat panjang atau pendek, dengan demikian memiliki posisinya dan fungsinya sendiri. Setiap penulis bisa menggunakannya dan mengaturnya. Terutama dalam konteks tulisan fiksi sastra yang harus mampu merepresentasikan keindahan dari suatu seni.

Namun, dalam bentuk prosa nonfiksi seperti karya ilmiah bisa jadi disarankan. Karena tujuan utamanya bukan pada seni, tetapi agar argumen bisa lebih dipahami. Dalam karya tulis ilmiah, kalimat panjang dan kompleks akan mengaburkan pesan.

Oleh karena itu, misalnya kita mengenal Gunning Fog Index yang diperkenalkan oleh  Robert Gunning di tahun 1952 untuk melihat seberapa jelas sebuah kalimat dituliskan. Salah satu caranya adalah mengurangi kalimat panjang dan kompleks. Cara melihatnya dengan satu rumus yang memberikan ukuran tertentu. Mungkin demikian.

-Artikel ini terbit pertama di Rubrik Alinea Balai Bahasa Riau (Juli 2023)-

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua